Labels:
Catatan
BAGI
orang Aceh, negeri Melaka tidaklah asing. Banyak sejarah berkait
terjadi di sana. Khususnya dalam sejarah politik Melayu, Melaka sering
diangkat ke permukaan sebagai negeri sejarah. Kerajaan Malaysia sendiri
memberi lakab ke negeri Parameswara ini sebagai kota wisata sejarah.
Menurut sejarah, kota ini pernah menjadi markas besar pasukan Portugis
dalam ekspansi penjajahannya di Asia Tenggara ini. Dalam sejarah
disebutkan bahwa Aceh pernah terlibat perang dengan Portugis selama
130 tahun (1511-1641) Salah satu upaya ‘membebaskan’ Melaka dari
Portugis dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan ini
merancang mengalahkan Portugis di Malaka (Lombard, 1985: 129). Sultan
mempersiapkan kekuatan pertahanan, di darat dan di laut yang sangat
besar dan kuat. Angkatan perang ini yang dipimpin laksamana Malem
Dagang (Malem berasal dari bahasa Arab mualim, “orang yang tahu”
(Lombard, 1985: 29).
Menurut sejarah Malem Dagang dengan armada
Cakra Donya berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu
dari penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Agaknya
di sini posisi Laksamana Malem Dagang hampir mirip dengan mimpi Patih
Gadjah Mada ketika ingin mempersatukan negeri-negeri di Nusantara
dibawah Raja Jawa melalui Sumpah Palapa. Hanya saja, Melaka yang masih
bisa dikuasai Portugis. Malem Dagang sangat dikagumi pihak asing.
Dalam hikayat Aceh yang disalin dan dianotasi oleh Teuku Iskandar, Veth
menyebut Laksamana Malem Dagang sebagai panglima besar yang memimpin
armada terbesar di kepulauan Hindia, (Teuku Iskandar, 2001: 77).
Karena jasa-jasanya, Malem Dagang sangat disayangi di mata Iskandar
Muda. Hanya dialah yang bisa mengkritik Sultan Iskandar Muda bila
keputusan-keputusan Sultan yang dapat mengancam kerajaan Aceh.
Laksamana
Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung
tanah Melayu. Pada tahun 1629 M Iskandar Muda mempersiapkan ekpsedisi
ke Malaka untuk mengusir Portugis. Dalam misi ini ada sekitar 250
kapal, antara kapal yang ada pada masa itu luar biasa besarnya, yaitu
100 kaki panjangnya dan 20.000 tentara. Pada awalnya, Iskandar Muda
mempercayai Malem Dagang sebagai pimpinan ekspedisi ini. Namun Perdana
Menteri Kerajaan Aceh, Maharaja Sri Maharaja, mendekati Iskandar Muda
membujuk Sultan agar ekspedisi penaklukan Malaka tidak dipimpin oleh
Malem Dagang. Saat Malem Dagang berangkat, Sultan Iskandar Muda malah
terpengaruh dengan bisikan dan rayuan Maharaja Sri Maharaja. Disebutkan
pula permaisuri istana, Putri Pahang (Putroe Phang), mendukung bujukan
Maharaja Sri Maharaja. Di dalam situasi ini, posisi Malem Dagang
dikerdilkan. Iskandar Muda melantik Maharaja Sri Maharaja sebagai
pimpinan ekspedisi. Padahal Maharaja Sri Maharaja bukanlah ahli srategi
perang dan berangkatlah ke Malaka. Adapun Malem Dagang memimpin
angkatan darat. Kisah ini mengingatkan kita pada peristiwa Khalid bin
walid yang dipecat oleh Umar bin Khattab dalam penaklukan Jerussalem.
Di
Malaka, Malem Dagang menyerang Portugis di bukit S Joao dan berhasil
menduduki bukit tersebut sehingga Portugis yang berada di dalam kota
kucar kacir. Tetapi pimpinan ekspedisi Maharaja Sri Maharaja yang
memang bukan ahli strategi perang membawa seluruh armada yang
dipimpinya ke Sungai Pongor di Selatan Melaka, karena mengira kota
telah diduduki oleh Malem Dagang, sehingga pertahanan laut lengah,
mengakibatkan, Pada bulan Oktober tahun 1629 Nuno Alvarez Botello,
Gubernur Portugis di Goa India, tiba di Malaka untuk membantu Pasukan
Portugis yang sedang terkepung dan dia langsung menyekat muara sungai
Pongor. Sehingga pasukan Aceh balik terkepung di hulu Sungai Pongor
dimana Sri Maharaja juga turut di sana. Pada November 1629 Maharaja
seri Maharaja gugur dan dimakamkan di Melaka. Sedangkan Laksamana
Malem Dagang, yang sudah terperangkap di darat melanjutkan pertempuran
dan berhasil ditangkap Portugis atas bantuan orang Pahang, sehingga
Botello berseru: Inilah laksamana yang untuk pertama kali dikalahkan.
Rencana awal Malem Dagang dibawa ke Lisabon, Portugal. Namun begitu
Allah swt melindunginya, Malem menghembus nafas terakhir dalam
perjalanan di lautan Hindia. Lombard menulis bahwa kegagalan misi
ekspedisi ini sebagai sebuah bencana besar. Bagi sejarah pemerintahan
kerajaan Aceh, ini juga merupakan tragedi besar karena selain Sri
Maharaja dan Laksamana Malem Dagang yang gugur, juga seorang ulama
besar yang cukup disegani yaitu Syekh Samsuddin Al-Sumatrani.
Manok agam
Kisah
Laksamana Malem Dagang ini sebenarnya sudah pernah terjadi di dalam
beberapa sejarah peperangan di dalam dunia Islam. Di dalam tradisi Aceh
pengalaman Laksamana Malem Dagang juga terjadi sampai hari ini, yaitu
perilaku poh seumupoh atau khianat adalah hal yang lumrah. Tradisi ini
dikenal dengan istilah han jeut na manok agam. Sehingga yang muncul
adalah upaya saling menjegal ketika ada peluang kekuasaan di depan mata.
Uniknya karena tradisi manok agam ini pula, Aceh selalu kalah di ujung
diplomasi.. Sehingga untuk membangun atau memberikan kontribusi, kita
harus seolah-olah beraksi seperti seorang oposisi. Perilaku duek pakat
hanya terjadi pada kalangan yang sefaham. Ideologi hanya dibatasi hanya
pada kalimat awak kamoe, bukan karena ingin memperjuangkan nasib-nasib
Aceh.
Sebenarnya kita menginginkan perilaku seperti Sri
Maharaja tidak lagi dicontoh oleh generasi Aceh. Adapun yang perlu
diperbanyak adalah semangat juang Laksamana Malem Dagang yang penuh
kesetiaan dan loyalitas tinggi. Namun karena adanya tradisi manok agam,
maka yang banyak muncul adalah perangai Sri Maharaja. Kawan
didefinisikan karena kesamaan kepentingan, bukan kesamaan tujuan. Kita
berharap diplomasi Aceh tidak berujung pada syo’ ujong. Karena harus
diingat bahwa setelah kegagalan misi Sultan Iskandar akibat dari manok
agam, pemerintah Iskandar Muda mulai melemah. Intrik di istana semakin
merajalela hingga Sultan wafat pada tanggal 27 Ra’jab 1046/ 27 Desember
1636 M karena sakit setelah merajam putranya.
----------------
Penulis : M Adli Abdullah, peminat sejarah Aceh
Sumber : http://serambinews.com
0 komentar:
Posting Komentar